Author: Dul Parlindungan
SECANGKIR KOPI
Nostalgia 10 tahun
NOSTALGIA kadang teramat sulit dijelaskan, ia bukan sekedar kumpulan cerita hari-hari yang telah lewat, hanya saja terkadang aku amat lambat memahaminya. Sekedar contoh saja, aku punya istri yang tiba-tiba mengajak makan satu piring setelah sekian hari aku tak di rumah. Awalnya aku berpikir tak cukup sekali kah kami melakukannya (awal menikah), atau apa ia sedang malas cuci piring, atau katakanlah efisiensi (yang perlu dicuci berkurang satu), padahal kami masih berdua waktu itu. Minimal sekali tiap bulan aku pulang ia pinta seperti itu, lama-lama aku menikmatinya, tentu belakangan aku paham, itu salah satu cara istri bernostalgia, cara istri memelihara kemesraan, cara istri menambah-nambah rasa kasih sayang, cara istri menyimpan kerinduan, cara istri membuang rasa hambar, cara istri mengatakan : “apa ayah tak rindu makan satu piring, tak rindu saling berebut lauk, tak rindu saling menuangkan nasi tambah”, setelah ia menunggu berhari-hari, berminggu-minggu.
Nah, dalam banyak obrolan ringan dengan beberapa teman, beberapa tetangga, beberapa teman baru di berbagai kesempatan sebagai referensi, ditambah beberapa pengalaman, aku menyimpulkan nostalgia itu sangat perlu dalam setiap hubungan, tak peduli seperti apa bentuk nostalgianya. Itulah kenapa Khalid uring-uringan setiap berlaga di medan perang kalau topi perangnya tak ketemu, karena di situ ada beberapa helai rambut baginda Nabi, sahabat yang ia muliakan, ia sedang bernostalgia. Itulah kenapa Habibie tak bisa lepas dengan sal pemberian sang Istri, ia sedang bernostalgia.
Bagiku nostalgia adalah jawaban atas sebuah pertanyaan bertahun-tahun lalu; “bagaimana memelihara hubungan pertemanan atau persahabatan?”. Sebenarnya gampang saja, sambung silaturrahim, caranya?? Itu yang susah, semakin punya banyak teman atau sahabat, berjarak pula, alamat pasti lama tak bertemu, makin membuat perasaan tak sekuat dulu lagi. Apalagi tak bisa menelpon setiap saat, mengirim sms, atau email. Aku berkaca, aku bahkan bukan termasuk tipe yang bisa mencatat nomer-nomer telpon sahabat, selalu lupa hari ulang tahun sahabat-sahabat terdekat, tak bisa mengucapkan yang pertama diiringi doa, apa lagi ada momen bahagia, menikah, melahirkan, punya anak, lulus sidang, diterima kerja, atau apapun itu, yang paling pahit di kala duka sahabat, tak bisa membantu apalagi menjadi penghibur sahabat yang ditimpa kemalangan.
Jujur, enam tahun belakangan aku mengalami kesusahan itu, mungkin ada yang tak percaya, ini kan zaman sudah canggih, telpon seluler berkembang pesat, internet ada dimana-mana, jaringan sosial mulai dari friendster sampai facebook dan twitter menjamur, ya memang, tapi sayang aku sudah tiga kali berpindah tempat tugas, ketiga-tiganya terpencil, jangankan internet, sinyal HP saja susah, tak ada. Aku ingat waktu pertama kali di kalimantan hampir enam bulan tak bisa menggunakan HP, lalu titik terang muncul ada sinyal indosat, sibuk ganti kartu, sayang itupun terbatas. Akhirnya tidak melulu seperti itu kondisinya, ada momen beberapa hari mendapatkan sinyal dan internet kalau sudah di kota kecamatan, kota kabupaten atau kota provinsi, sampai sekarang aku mendapatkan momen-momen itu, berusaha menelpon, berusaha sms, berusaha menulis surat, catatan-catatan di jejaring sosial, dalam momen-momen itulah akau mendapat satu jawaban atas pertanyaan di atas, Nostalgia.
Begitulah, aku punya sahabat-sahabat yang tak bisa dilupakan, bermula dari Penjara Suci, tempat kami belajar dan tumbuh besar bersama selamat enam tahun atau tiga tahun, tempat yang membuat kami saling mencintai, tempat yang membuat kami menangis kala berpisah, sekarang sudah sepuluh tahun kami meninggalkan Penjara Suci. Seperti janji ketua kelas abadi kami, Kahar, ia akan menyebarkan kami di seluruh penjuru Negeri, dari timur ke barat, dari utara ke selatan, entah itu karena janji Kahar atau memang sudah takdir, jadilah kami dimana-mana, di timur sampai barat, di utara sampai selatan. Tentu kami tak bisa saling mengunjungi setiap saat, bahkan ada yang bertahun-tahun tak berjumpa, sungguh berat memelihara persahabatan itu, memelihara perasaan suci itu, kalau tidak, tentu tak ada yang tersisa bagi kami.
Mulailah aku bernostalgia agar rasa cinta dan sayang tetap kuat, mulailah aku bernostalgia agar setiap kebaikan mereka aku simpan, mulailah aku bernostalgia agar setiap saat aku bisa mendoakan kebaikan buat mereka, mulailah aku bernostalgia agar ikut merasakan setiap kesedihan di kala duka mereka, mulailah aku bernostalgia agar aku bisa setiap saat mengunjungi mereka, agar aku bisa menyimpan nasehat-nasehat mereka, agar aku bisa berjumpa mereka di tempat yang sesungguhnya, negeri Abadi.
Aku menulis untuk bernostalgia, menulis catatan-catatan kecil, hal-hal yang kami sukai, hal-hal yang kami benci, menulis hal-hal yang membuat kami seperti saudara se-ayah-ibu, bahkan melebihi saudara sedarah. Aku menulis catatan-catatan tentang setiap inci sudut kehidupan bersama di penjara suci, agar aku tak pikun hal-hal yang membuat kami saling jatuh cinta, saling cemburu, saling jahil, saling bersaing menjadi yang terbaik. Aku menulis agar aku selalu ingat pada mereka, ingat pada impian-impian mereka, ingat hal-hal yang mereka ingin perjuangkan. Aku menulis agar kami menyadari kami masih seperti yang dulu, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, tak pernah berubah, dimanapun kami berada. Aku menulis agar kami punya gelar yang sama, Sahabat Terbaik, lulusan terbaik pula.
Aku memberikan nama putriku Atikah untuk bernostalgia, nama salah satu asrama kami di Penjara Suci. Agar setiap aku panggil nama putriku, aku akan teringat tempat itu secara keseluruhan, teringat tentang nilai-nilai kebaikan, teringat tentang mereka semua, agar satu persatu wajah mereka ada di pelupuk mataku. Tak mengapa kalau ada yang berpendapat aku berlebihan, besok kalau aku punya anak perempuan lagi, kuberi nama Mutiah, masih salah satu nama asrama di Penjara Suci, kalau bertambah perempuan lagi, kuberi nama-nama sahabatku, misal Khodijah, biar jago bisnis, perempuan lagi, Fatimah, biar cerdas berbahasa inggris, perempuan lagi, Sahra, lagi, Ani, biar jadi dokter, lagi, Annur, lagi, Fithriani, agar pemberani dan jago pantun, dan seterusnya. Nah kalau anak laki-laki, Umar, Utsman, Ali, Ali Husein atau Ali Rohom pun tak mengapa, kalau bertambah anak laki-laki lagi, Amiril, lagi, Habibie, lagi, Ilman, biar ganteng, lagi, Mukri, lagi, Rizal, lagi, Kahar, biar jadi Ketua Kelas, lagi, Arif, tentu biar arif, kalau lagi lagi, Parwis pun tak mengapa lah, biar jadi toke, juragan. Tentu semua akan kebagian nama, kalau seandainya anak laki-laki dan perempuan-ku berjumlah lima puluh empat atau tujuh puluhan, tapi sayang istri baru satu, hehe.
Terakhir, aku ingin pulang lebaran tahun ini, untuk menyempurnakan Nostalgia sepuluh tahun. Berjumpa secara fisik adalah puncak Nostalgia, selalu seperti itu. Berharap bisa bertemu mereka semua, sekuat tenaga dan waktu. Karena aku berharap, aku bisa selalu berada di puncak Nostalgia, bisa menatap senyum mereka dari waktu ke waktu, bisa mendengar cerita mereka dari waktu ke waktu, bisa merasakan getar getir kehidupan mereka dari waktu ke waktu, bisa mengadopsi segala kebaikan mereka, tentu berharap bisa menambah-nambah rasa kasih sayang. Bukankah Nabi pernah berpesan :
“kunjungilah sahabatmu sewaktu-waktu, niscaya kamu bertambah sayang”
Aihhh sedaaap, itulah puncak Nostalgia, sungguh.
***